Malam itu, Jumat 10 Juli 2015 kami mendapat kabar bahwa ada salah satu tetangga kami, warga Kolbano, meninggal dunia. Segera kami satu tim berangkat untuk melayat. Ketika hanya berjarak 10 m, sayup-sayup saya dengar tangisan sanak keluarga yang amat pilu. Gue sejujurnya terkejut. Mungkin karena kultur syok, gue tidak terbiasa mendengar tangisan keluarga yang sedang berduka sampai meraung-raung seperti itu.
Tapi tidak masalah, perbedaan kultur memang justru indah untuk diketahui bukan? Kami membentuk barisan menyalami satu-satu keluarga dekat yang sedang berduka.
Mungkin kalian ingat posting gue sebelum ini, tentang warga Kolbano yang mayoritas atau bahkan hampir seluruhnya kristen maupun katolik. Gue yang menggunakan jilbab merasa agak pekewuh, tapi ngikut saja di belakang barisan. Ternyata warga tidak mempermasalahkan hal itu. Di dalam rumah, gue menyalami satu persatu keluarganya. Disitu juga tempat jenazah ditidurkan di kasur, belum ditutup dengan kain, masih dikelilingi keluarga sambil menangis dan mungkin memanjatkan doa yang berupa nyanyian.
Yang jadi pertanyaan gue dan teman-teman, bagaimana berita bisa menyebar begitu cepat di Kecamatan ini? Tidak ada yang punya telepon rumah, bahkan jarak antarrumah rata-rata 10 m. Hanya segelintir warga yang sudah memiliki motor. Jenazah meninggal pukul 7, kami berangkat pukul 7.30. Cukup cepat bukan untuk sebuah berita menyebar di Kecamatan dengan fasilitas yang kurang seperti Kolbano?
Jadi ternyata kabarnya hanya dari mulut ke mulut dan lonceng gereja. Kalo lonceng dibunyikan 24x, itu tandanya ada yang meninggal. Untuk tahu siapa yang meninggal, biasanya yang memiliki hp saling mengabari, lalu yang memiliki motor saling ke rumah-rumah warga untuk memberitahu. Hubungannya masih erat sekali, ya?
Tidak lama setelah gue dan teman-teman duduk di pelataran rumah duka, tiba-tiba ada suara truk besar yang datang dengan suara kerumunan orang-orang yang mengobrol diatasnya. Ternyata banyak warga yang sampai patungan truk untuk datang melayat. Kekeluargaannya masih kental sekali ya warga sini.
Namun ada seorang mama (sebutan kami untuk 'ibu'/wanita dewasa) yang memberitahu kami bahwa sebenarnya kalo ada acara duka seperti ini, yang "beneran melayat" adalah orang-orang tua nya saja, pemuda-pemuda yang ikut ke acara layat seperti ini tujuannya adalah untuk cari cewek. PLZ. Nyari jodoh pun bisa ya di acara layat, hmm leh uga.
Nah, biasanya setelah warga yang datang cukup banyak, kami diberi sirih pinang (tau kan sirih yang untuk dikunyah warnanya bisa menjadi merah itu). Untung kemarin ga semuanya dikasih, gue belum bisa membayangkan rasa dan sensasi mengunyah sirih pinang itu seperti apa hahaha.
Oiya, fyi, warga Kolbano ini SANGAT SENANG NGUNYAH SIRIH PINANG. Makanya jangan heran kalo di sepanjang jalan ada bercak-bercak merah seperti darah, dari bercak kering sampai bercak yang masih segar. Pertama kali gue lihat bercak ini, sumpah, gue kira itu bekas kecelakaan, bentuknya tuh kayak lendir dari batuk darah gitu lho. Tapi tenang aja, emang sepanjang mereka jalan, mereka suka ngeludah bekas kunyahan sirihnya. Jadi ya gitu deh jalanan berhias bercak merah sirih.
Balik lagi pada duka di Kecamatan Kolbano, setelah pemberian sirih pinang akan ada suatu khotbah dari tetua warga dan mungkin sedikit kata dari keluarga. Namun saat itu kami tidak sampai berlama-lama disana karena sudah terlalu malam.
Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi-Nya. Aamiin
No comments:
Post a Comment